Memahami/Mengendalikan Ego & Menghargai Perbedaan

Written by Sachdar Gunawan | Tuesday, May 08, 2007 | | 1 Comment »

Seperti gurat-gurat sidik jari yang berbeda satu sama lain, demikian juga halnya dengan sifat-sifat, sikap dasar, karakter, bakat dan potensi yang ada pada setiap orang.

Sikap dasar, karakter dan pola pikir yang menjadi acuan utama dalam bertindak (yang disebut Mind-set) ini memberi kita semacam perintah-perintah di luar kesadaran: “Beginilah semestinya kita bertindak!”.

Tanpa sadar, seringkali kita melihat dengan kaca mata negatif perbedaan di antara kita dengan orang lain lalu kita bergumam di dalam hati: “Kok dia begitu? Mestinya begini dong!”. Dengan kaca mata negatif juga ego kita jadi terpancing ketika kita melihat kelebihan pada diri orang lain. Bagian Kanak-kanak pada diri kita merengek meminta dukungan dan pembenaran terhadap anggapan baku kita: “Punyaku lebih baik, aku lebih hebat dari dia”.
Begitulah “pikiran monyet” atau ego, tanpa kita sadari telah bersikap gelisah serta bertindak salah tingkah, dalam upaya melindungi harga diri sebagai “sosok pribadi yang bermartabat”. Dan tanpa sadar kita terobsesi mengubah orang lain, agar mereka punya cara pandang yang sama dengan kita.

Sekarang kita bisa melihat bahwa sejauh ini kita telah dicemari oleh “jiwa yang tidak sehat” atau ego yang tak terkendali karena tidak pernah diperiksa. Sekarang kita bisa melihat bahwa selama ini kita telah diganduli oleh “pikiran monyet” yang selalu meminta perhatian dan menuntut pembenaran.

Bila kita bisa melihatnya dengan jelas, tentu kita bisa memisahkannya dari diri kita. Dengan memandang dari jarak tertentu serta mengamati perbedaan antara diri kita yang sesungguhnya dengan “pikiran monyet’ yang selama ini kita gendong, sekarang kita bisa mempunyai kesadaran baru bahwa mulai sekarang kita bisa menjadi insan yang berbeda, yang tidak lagi terbelenggu oleh ego.

Kita tidak harus menghancurkan ego kita sendiri karena ia memang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri kita. Kalau ia kita hancurkan maka kitapun akan ikut hancur bersamanya, melalui rasa bersalah dan rasa benci kepada diri kita sendiri. Yang perlu kita lakukan adalah berupaya menyadarinya serta menjinakkannya agar ia tidak lagi menjadi “monyet yang liar”. Kita dapat mengubahnya menjadi monyet yang baik dan jinak, sekaligus menjadi sahabat baik kita. Kepada monyet sahabat baik ini, kita bisa melakukan dialog dengan teknik suspending assumption, yang artinya “pikiran monyet” kita pisahkan, biarkan ia tergantung bebas di hadapan kita, lalu periksa dan amati secara berulang-ulang, mengapa ia seperti itu? Mungkin kita sampai pada kesimpulan bahwa ego tersebut tidak pernah atau tidak cukup mendapat nutrisi.
Mungkin kita dibesarkan dalam suasana yang kering akan pengakuan, penerimaan atau pujian. Berbagai prestasi telah kita raih, berbagai potensi telah kita kembangkan namun semua kejadian itu seolah-olah menjadi sesuatu yang sudah seharusnya terjadi, tanpa pengakuan atau pengukuhan. Maka jadilah monyet-monyet kita sebagai mahluk yang selalu lapar dan haus karena sesungguhnya iapun berhak mendapat pengakuan dan pengukuhan terhadap apa yang sudah ia hasilkan.

Apakah kita akan menunggu orang-orang di sekeliling kita memberi nutrisi kepada monyet sahabat kita? Mengapa kita harus menunggu? Mengapa tidak bertindak secara pro-aktif bahwa kita sendirilah yang harus memberi nutrisi kepada mereka? Sekaranglah waktunya untuk bertindak, tanpa harus menunggu orang lain. Mari kita cari berbagai potensi yang kita miliki. Mari kita cari berbagai kelebihan yang kita miliki sebagai pribadi yang memang unik dan berbeda. Mari kita jinakkan monyet yang gelisah: “Sini nyet, duduk manislah di dekatku. Mari kita periksa, apa saja potensi yang kita miliki. Mari kita periksa berbagai prestasi yang telah kita raih. Ya ampun, alangkah banyaknya hal-hal yang harus kita syukuri. Iya nggak nyet? Nah mari kita bersulang untuk semua itu, untuk kesejahteraan batin kita!”
Kalau Tuhan saja telah menciptakan hal-hal yang berbeda sebagai polaritas yang selalu hadir dalam alam dan kehidupan seperti laki-laki dan perempuan, siang dan malam, gunung dan lembah, dan lain sebagainya, mengapa pula kita berpretensi untuk memaksa sesuatu agar semuanya seragam atau tidak berbeda? Termasuk memaksakan kehendak agar orang-orang di sekeling kita punya pola pikir yang sama dengan kita. Dapatkah kita berpikir bahwa sebuah orkestra hanya terdiri dari biola saja, tanpa alat instrumen yang lain? Bukankah keindahan sebuah simfoni orkestra disebabkan oleh keberagaman instrumen yang digunakan, dalam harmoni kapan jenis instrumen tertentu harus bertindak semetara yang lain diam menunggu? Sebagai mahluk sosial kita tidak mungkin hidup tanpa menjadi pemain salah satu instrumen dalam orkestra kehidupan, baik dalam kehidupan professional, kehidupan keluarga maupun kehidupan bermasyarakat. Pertanyaan kita sekarang adalah, simfoni macam mana yang ingin kita mainkan?

1 Comment

  1. Miftahur // 10:40 AM  

    Good
    Kita memang harus menghargai berbagai perbedaan