Menumbuhkan Jiwa Yang Sehat

Written by Sachdar Gunawan | Monday, May 21, 2007 | | 0 Comment »

Masing-masing dari kita punya kesempatan hidup hanya sekali. Suatu saat entah kapan, kita akan meninggalkan dunia yang fana ini. Ketika berpulang, jasad kita dibaringkan sejenak di rumah duka. Orang-orang akan datang melayat, atau sebaliknya tidak datang melayat namun mereka yang pernah mengenal kita akan berkomentar tentang sumbangan yang telah kita berikan selama kita masih hidup. Sumbangan tersebut bisa positif, bisa juga negatif, semuanya tergantung dari, dan sekaligus terserah kepada diri kita masing-masing. Sekarang mari kita periksa dan renungkan sejenak, apa kira-kira komentar orang-orang ketika jasad kita berbaring di rumah duka sebelum dikebumikan. Mari kita renungkan juga kehidupan macam mana yang ingin kita jalani, yang bisa jadi akan dikenang oleh generasi penerus di masa yang akan datang.

Alih-alih berfokus pada kesadaran baru untuk menjalani hidup dengan cara berbeda, yang lebih sesuai dengan dorongan nurani kita yang paling dalam, mungkin sebagian dari kita kini terbelenggu oleh rasa bersalah, kenapa tidak dari dulu kita berpikir tentang keberadaan kita serta berpikir tentang pilihan-pilihan yang kita ambil dalam menjalani hidup ini. Rasa bersalah terkadang membuat sebagian dari kita merasa sesak, namun merasa sesak atau sebaliknya menjadi lapang sesungguhnya merupakan pilihan yang ada di tangan kita sendiri. Seperti halnya dengan dua orang tahanan yang sama-sama mendekam di dalam penjara. Di malam hari, dari balik jeruji besi yang seorang bersuka cita menikmati bintang-bintang di langit yang cerah, sementara yang lainnya bersedih menatap comberan berlumpur. Apakah kita merasa lapang dan bahagia atau sesak menderita, semua itu ada di dalam pikiran. Mereka yang arif memberi tahu kita bahwa sudah menjadi kodratnya bahwa manusia itu dapat berbuat salah. Iya juga ya, kita ini kan hanya mahluk ciptaanNya. Jadi, sepanjang kita bukan Tuhan – dan selamanya kita memang hanya ciptaanNya – maka kita tidak akan pernah luput dari kemungkinan berbuat salah. Lalu kenapa harus merasa sesak? Mari kita lupakan sembari mengambil pelajaran dari berbagai kesalahan yang pernah kita perbuat untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Ya, sesungguhnya di dalam diri kita terdapat jiwa-jiwa yang sehat yang selalu harus dipelihara agar tetap sehat. Mungkin kita telah melupakannya atau mungkin juga ia telah terdistorsi oleh berbagai bujuk rayu suara-suara yang berpusat pada kebendaan semata-mata. Hal-hal di seputar kebendaan itu sendiri bukanlah sesuatu yang tabu karena ia dapat memperluas jangkauan kita dalam berkontribusi. Orang yang lebih kaya sesungguhnya punya peluang yang lebih besar untuk berkontribusi.

Yang dapat menjadi masalah adalah jika kekayaan material tersebut digunakan untuk melindungi diri dari rasa tidak aman karena kita tidak yakin bahwa orang-orang masih dapat menerima keberadaan kita walaupun kita bukan orang yang kaya. Juga dapat menjadi masalah bila tanpa sadar kita menggunakan kekayaan material untuk menenangkan pikiran monyet yang gelisah dan selalu ingin menyuarakan lagu-lagu: “Punyaku lebih baik, dan lihat aku ini lebih kaya”.

Jiwa yang sehat akan tumbuh dalam keseimbangan, antara kehidupan material, sosial, emosional dan spiritual. Kita memang dapat menjadi kaya secara material dari apa yang kita hasilkan namun kita hanya dapat menjadi kaya secara batin dari apa yang telah kita berikan kepada orang-orang di sekeliling kita. Orang-orang bijak memberi kita petunjuk bahwa untuk menghasilkan sesuatu, mulailah dengan memberi. Barangkali istilah take and give sudah saatnya untuk diganti dengan give and get karena, konotasinya ada pada memulai dengan memberi.

Mungkin di antara kita bersikap skeptis: “Untuk diri sayapun masih kurang, mengapa pula saya harus memberikannya kepada orang lain?”. Anda tidak salah namun ada baiknya kalau kita mengubah cara berpikir dan mencoba mencari, apakah yang dapat kita berikan dan kalau kita selalu memberikannya kepada orang lain harta tersebut justru akan bertambah banyak? Jawabannya antara lain adalah: penghargaan dan rasa hormat, senyum yang tulus, pengetahuan yang kita miliki, dan lain sebagainya. Maka mulailah belajar mengembangkan lebih banyak senyum, senyum yang lebih tulus. Kita bisa mulai dengan tersenyum secara timbal balik kepada organ-organ di dalam tubuh seperti jantung, paru-paru, hati, ginjal dan lain sebagainya. Kita juga dapat mulai tersenyum secara timbal balik dengan pepohonan di sepanjang jalan yang kita lalui. Kita juga dapat tersenyum secara timbal balik kepada kupu-kupu yang bercanda-ria dengan bunga yang mekar mewangi. Dan akhirnya kitapun punya senyum dalam jumlah tanpa batas yang dapat kita berikan kepada siapa saja yang kita jumpai.

0 Comment