Beberapa minggu lalu, 4 hari sebelum lebaran, aku menerima sms yang no nya belum aku kenal, ia menanyakan kabarku, lalu aku sms balik, dan menanyakan siapa. Balasan sms aku terima, ia adalah temanku, sebut saja dwi, aku pernah satu sekolah waktu sd dan smp. Lalu aku tanyakan juga keperluannya, karena sejak ia menikah satu tahunan lalu, jarang sekali aku berkomunikasi dengannya, ternyata ia sedang mengalami masalah, ia membutuhkan bantuanku untuk meminjamkan dana, tapi ketika aku tanyakan masalahnya apa, ia seperti menutupinya, mungkin menyangkut privacy, setahuku dwi tipe orang yang keras, dan memiliki ego yang tinggi. Saat itu aku tidak bisa memutuskan karena keuanganku juga terbatas, lagipula saat itu aku belum menerima salaryku bulan November. Esoknya ia menelponku kembali, dan menanyakan kepastiannya, selain itu ia juga berencana untuk menjual ginjalnya, hmm... aku pikir masalahnya cukup serius juga, karena sampai rela menjual ginjalnya, aku jadi teringat dengan salah satu materi saat aku melakukan i’tikaf di masjid baitul ‘ilmi Labschool Jakarta, dimana seorang anak sedang berdiri di pinggir jalan di daerah imam bonjol, dengan tulisan karton yang ia tempelkan didadanya, yang bertuliskan: ”jual ginjal untuk berobat ibu”. Sungguh pemandangan yang memilukan hati, seseorang akan melakukan pengorbanan apapun untuk kepentingan seseorang yang ia cintai, apalagi menyangkut nyawa. aku tidak sanggup membayangkan bila hal itu terjadi pada kehidupanku,. Ukh… akankah aku melakukan sesuatu seperti yang ia kerjakan? Hmm… butuh evaluasi lebih dalam mengenai hal ini. Kembali kepada pembahasan massalah dwi, Akhirnya aku putuskan untuk kasbon ke kantor sejumlah setengah dari dana yang ia butuhkan untuk meminjamkannya. Sengaja aku meminjamkannya setengah dari yang diinginkannya, agar temanku berusaha untuk mencari sendiri sisa kekurangannya, selain itu aku juga menasehatinya agar tidak melakukan hal bodoh, seperti menjual ginjal, karena menurutku itu hanya suatu ungkapan keputusasa’annya saja, ia belum berusaha keras mecari solusi yang terbaik atas permasalahan yang ia hadapi.
Pahitnya kehidupan mungkin suatu keharusan yang harus dirasakan oleh penduduk negeri ini, bisa jadi itu adalah suatu proses agar kehidupan kita kedepannya bisa lebih baik, karena hal itu bisa menjadi ladang belajar yang cukup efektif, tentunya bagi kita yang mau mengambil hikmahnya. Dengan keadaan itu kita terpaksa melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan sebelumnya, kalau kita memiliki iman yang lemah, tidak peduli hal itu halal atau haram, merugikan orang lain atau tidak, sehingga timbul masalah sosial yang penyebabnya adalah kemiskinan tadi. Kemiskinan moral lebih parah ketimbang kemiskinan materi, maka pendekatan yang perlu dilakukan sebagai solusi pemberantasan kemiskinan ialah dari sisi moralnya terlebih dahulu, dengan begitu mereka akan sadar akan makna kehidupan, sehingga hidupnya akan cenderung optimis dan lebih giat lagi bekerja untuk meninggalkan kemiskinan materi.
Aku berharap dwi bisa berpikir dengan akal sehat, optimis dan bisa melewati ujian yang sedang menimpanya, karena dengan keputusannya untuk menjual ginjal menunjukkan klo ia memiliki mental lemah dan pengecut, aku tau belum genap satu tahun ia berumah tangga, mungkin ini adalah proses pembelajarannya agar ia dapat menjalani hidup ini dengan lebih tegar lagi, apalagi saat aku main kerumahnya aku melihat anaknya yang masih berusia 1 tahun, sungguh lucu ia, aku yakin anak itu bisa menjadi penyemangat temanku, bahwa ada hal yang harus diperjuangkan, dan tentunya dengan cara-cara yang tidak menyimpang.
[12 November 2006]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comment
Post a Comment