Serumpulan kata-kata telah muncrat dari mulutnya yang bau, Tapi tidak ada satupun siratan yang bermakna, semua hanyalah sumpah serapah serta nama-nama penghuni kebun binatang yang pernah ia singgahi. Racauannya yang semakin tidak jelas, membuat bising para penghidup yang berada disekitarnya, kucing sampahanpun ikut bergumam tanda protesnya, bahkan penghuni atap rumahnya memaki kesal, sampai-sampai ia relakan air minumnya ditumpahkan ke luar jendela hanya untuk menyiram lelaki itu.
Tidak tergubris sama sekali, ia malahan melanjutkan lagi tegakkan dari botol minuman yang ia cekik batang lehernya. Setegak cairan itu, memerahkan matanya yang templon, dan menundukkan lagi kepalanya yang pitak sebesar telinga culunnya. Terkadang ia sesendirian menangis sedu, mungkin terkilas bayangan istri dan anaknya yang meninggalkannya ketika ia sedang mabuk dulu. Tapi juga ia suka tertawa geli ketika melihat kucing bertengkar. Sungguh memilukan, entah apa yang terpikirkan oleh lelaki itu.
Baju yang kini melindunginya dari sengatan matahari serta guyuran hujan, sudah tidak terlihat lagi warna aslinya, bahkan aromanya pun bak bunga pengkuburan, bahkan lebih parah dari itu, seperti bau sampahan yang ada di samping dirinya. terakhir ia kenakan itu satu hari selepas istri dan anaknya meninggal. Mungkin baju itu mengandung kenangan yang amat dalam ketika keluarganya masih utuh.
Pandangannya menatap kosong ke arah depan, racauannya semakin pelan, mungkin karena kelelahan atau memang urat di lehernya sudah hampir putus. Akhirnya tidak ada seperah kata pun keluar dari mulutnya. Ia membisu sebisu jiwanya yang membeku, mungkin saat itu ada malaikat yang menatapnya. Tiba-tiba tubuhnya menggigil pelan dan semakin lama bergetar keras dan kencang, bahkan sampahan yang ada disebelahnya tumpah dan mengeluarkan isinya yang membau, kini ia tidak duduk lagi tapi telentang, badannya mengejang, mulutnya menutup pilu, dan pandangannya tertuju ke atap langit-langit halaman rumahnya, semakin lama matanya meredup dan akhirnya menutup, bersamaan dengan berhentinya getaran tubuh. Kini ia terbujur kaku, seperti patung yang bisu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi pada dirinya, lelaki tua itu mati di pojok teras rumahnya.
Tidak tergubris sama sekali, ia malahan melanjutkan lagi tegakkan dari botol minuman yang ia cekik batang lehernya. Setegak cairan itu, memerahkan matanya yang templon, dan menundukkan lagi kepalanya yang pitak sebesar telinga culunnya. Terkadang ia sesendirian menangis sedu, mungkin terkilas bayangan istri dan anaknya yang meninggalkannya ketika ia sedang mabuk dulu. Tapi juga ia suka tertawa geli ketika melihat kucing bertengkar. Sungguh memilukan, entah apa yang terpikirkan oleh lelaki itu.
Baju yang kini melindunginya dari sengatan matahari serta guyuran hujan, sudah tidak terlihat lagi warna aslinya, bahkan aromanya pun bak bunga pengkuburan, bahkan lebih parah dari itu, seperti bau sampahan yang ada di samping dirinya. terakhir ia kenakan itu satu hari selepas istri dan anaknya meninggal. Mungkin baju itu mengandung kenangan yang amat dalam ketika keluarganya masih utuh.
Pandangannya menatap kosong ke arah depan, racauannya semakin pelan, mungkin karena kelelahan atau memang urat di lehernya sudah hampir putus. Akhirnya tidak ada seperah kata pun keluar dari mulutnya. Ia membisu sebisu jiwanya yang membeku, mungkin saat itu ada malaikat yang menatapnya. Tiba-tiba tubuhnya menggigil pelan dan semakin lama bergetar keras dan kencang, bahkan sampahan yang ada disebelahnya tumpah dan mengeluarkan isinya yang membau, kini ia tidak duduk lagi tapi telentang, badannya mengejang, mulutnya menutup pilu, dan pandangannya tertuju ke atap langit-langit halaman rumahnya, semakin lama matanya meredup dan akhirnya menutup, bersamaan dengan berhentinya getaran tubuh. Kini ia terbujur kaku, seperti patung yang bisu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi pada dirinya, lelaki tua itu mati di pojok teras rumahnya.
0 Comment
Post a Comment