Tiga kata ini terinspirasi dari kejadian sederhana di kantor tempatku bekerja, hampir setiap hari Jum’at, selepas jam kerja, kami menyempatkan diri untuk berolahraga, walaupun hanya olahraga ringan [badminton] tapi itu cukup membuat kami merasa lebih fresh setelah seharian bekerja, juga membuat fisik kami sehat serta lebih mengakrabkan hubungan emosional kami, sebagai partner kerja. Dalam satu pertandingan, group A dan B bertanding, dilihat dari kemampuan group B lebih unggul. Dan terbukti saat akhir set pertama group A hanya diberi angka “0” [nol]. Tapi itu tidak menurunkan semangat mereka, pada set kedua mereka yakin bisa mengejar ketinggalan. Memasuki set kedua, pemain pertama group A berdiri agak kedepan untuk melakukan servent, dan pemain kedua berdiri tepat beberapa langkah di belakangnya, sebelum melakukan servent, pemain kedua menyemangatinya dengan berkata “Pecahin telurnya!” mungkin penonton yang lain tidak memperhatikan apa yang baru saja diucapkan, tapi kata-kata itu membuatku terdiam sejenak mencoba memutar otak untuk mengerti maksudnya. bagiku kata-kata itu sederhana tapi memiliki makna yang tidak sederhana. Bila kita menggali maknanya lebih dalam, tidak hanya sebagai ucapan penyemangat, tapi merupakan ucapan perenungan. Pada akhir set kedua group A berhasil mengejar ketinggalan dengan skor terakhir 28-30, dan dimenangkan oleh group B. bukan masalah sudah berapa kali kita bertanding, atau sudah berapa lama kita bertanding tapi apakah kita sudah berusaha merubah nilai kita, apakah kita ingin selalu mendapatkan point seperti telur [baca:nol], apakah kita sudah memecahkan telur itu!
Bila kita refleksikan dalam kehidupan nyata, mungkin saat ini kondisi kita telah sampai pada satu titik puncak kejenuhan, dan sudah hukum alam bila kita telah sampai pada titik itu, kita akan kembali pada posisi ”0” [nol]. berapa lama lagi kita memposisikan diri kita pada titik itu? Dalam ilmu matematika angka nol tidak ada nilainya, begitupun dalam kehidupan, tidak peduli sudah berapa lama kita hidup atau sudah berapa umur kita sekarang, yang terpenting adalah sudahkah kita melangkah untuk memperoleh nilai. ”Pecahkan Telur Itu!” bila dimaknai lebih dalam, setelah telur pecah, akan ada kehidupan baru lagi, anak ayam itu akan lahir, bayi ular itu telah muncul dan bebek mungil itu telah terlahir. Sanggupkah kita hidup dengan kondisi yang stag [baca:terhenti], tanpa ada peningkatan sedikitpun, apakah kita mau dalam hidup ini hanya mendapatkan nilai seperti telur [baca:nol], sudah saatnya memecahkan telur itu, sudah saatnya kita mengambil keputusan untuk melangkah, naik, berkembang dan hijrah kepada kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang lebih berwarna, kehidupan yang lebih cerah.
Bila kita refleksikan dalam kehidupan nyata, mungkin saat ini kondisi kita telah sampai pada satu titik puncak kejenuhan, dan sudah hukum alam bila kita telah sampai pada titik itu, kita akan kembali pada posisi ”0” [nol]. berapa lama lagi kita memposisikan diri kita pada titik itu? Dalam ilmu matematika angka nol tidak ada nilainya, begitupun dalam kehidupan, tidak peduli sudah berapa lama kita hidup atau sudah berapa umur kita sekarang, yang terpenting adalah sudahkah kita melangkah untuk memperoleh nilai. ”Pecahkan Telur Itu!” bila dimaknai lebih dalam, setelah telur pecah, akan ada kehidupan baru lagi, anak ayam itu akan lahir, bayi ular itu telah muncul dan bebek mungil itu telah terlahir. Sanggupkah kita hidup dengan kondisi yang stag [baca:terhenti], tanpa ada peningkatan sedikitpun, apakah kita mau dalam hidup ini hanya mendapatkan nilai seperti telur [baca:nol], sudah saatnya memecahkan telur itu, sudah saatnya kita mengambil keputusan untuk melangkah, naik, berkembang dan hijrah kepada kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang lebih berwarna, kehidupan yang lebih cerah.
Ya psikologi itu menurut saya juga sama seperti sepakbola, pertandingan sepakbola tadinya kan 0-0 , lalu pemain berusaha mencetak angka
kalau gagal ya sampai pertandingan abis cuma 0-0