Malam kemarin, aku putuskan untuk pulang ke rumah orangtua, karena memang sebelumnya ibuku menghubungiku lewat ponselku dan memintaku untuk segera pulang. Sekitar pukul 7 malam, ba’da maghrib, dalam keadaan gerimis, aku paksakan diriku untuk meninggalkan kantor. Biasanya, keluar dari kantor, aku bisa langsung menyeberang jalan, untuk menunggu angkot, tapi karena proyek busway, terpaksa aku harus jalan lagi sekitar ½ km melewati jembatan, karena jalan yang biasa aku lewati sudah dipagar.
Dari matraman ke arah kp. Melayu aku naik angkot M.01, cuaca masih kurang baik, kata temanku gerimis ngrindu, karena biasanya bila gerimis, ia selalu ingat dengan istrinya yang ada di rumah,. Hehehe… sesampainya di kp. Melayu, aku beralih angkot, dan untuk menuju kramatjati, aku naik angkot M.06. Cuaca semakin tidak bersahabat, tiba-tiba saja hujan menjadi lebat, untung saja aku duduk agak ke tengah, kalau tidak, bisa basah pakaianku. Saat itu angkot penuh sekali, 4 orang duduk rapat di depanku, dan 5 orang yang duduk bersamaku, lalu 2 orang yang duduk dekat pintu, dan 2 orang lagi duduk di depan bersama supir. Awalnya kasihan juga melihat 2 orang yang duduk persis di depan pintu, karena mereka kehujanan, tapi karena mereka pria dewasa, aku jadi agak cuek.
Di persimpangan otista, angkot berhenti karna terkena lampu merah. Lalu dari arah sisi jalan, ada 2 orang anak perempuan yang mendekat. Mereka berjalan tertatih-tatih sambil menyilangkan tangan mereka ke dada, tanda kedinginan. Selanjutnya mereka naik, dan berdiri di pintu. Angkot mulai bergerak bersamaan dengan berpindahnya lampu lalu lintas menjadi warna hijau. 2 anak itu menyanyi pelan, dengan nada agak menggigil. Ketika supir tahu bahwa ada 2 orang anak kecil menaiki angkotnya, ia menyuruh turun mereka, karena khawatir jatuh. Tapi anak-anak itu tidak menggubrisnya, dan terus melanjutkan nyanyiannya yang tidak jelas. Akhirnya supir agak mengurangi kecepatan, dan anak itu trus bernyanyi. Salah satu berkata, ”dingin banget ya kak!”, lalu yang satunya menjawab ”tahan aja, nanti juga terbiasa”, sepertinya mereka berdua bersaudara. Kalau aku perhatikan usia mereka sekitar 6-8 tahun, usia yang belum pantas untuk mencari uang. Di sela-sela nyanyian mereka, mereka tertawa bersama, entah apa yang lucu, mungkin hanya cara mereka menghilangkan rasa dingin, atau hanya sekedar untuk menghibur diri mereka.
Terkadang aku berpikir, bagaimana orangtuanya! Jam-jam segitu seharusnya 2 anak itu diam di rumah dan belajar. Tapi aku juga tidak tahu, apakah mereka sekolah! Hmm... dalam lamunan, aku berpikir semakin jauh, kalaupun tidak sekolah, mungkin karena memang orangtuanya tidak mampu membiayai mereka sekolah,. Uhh... aku jadi keki sendiri, ngapain sih mereka melahirkan anak, tapi justru untuk ditelantarkan!kan kasihan anak-anak itu! Mereka sih enak bikinnya! Ups... sepintas aku berpikir apa sih yang diperjuangkan anak-anak itu? Hingga rela berhujan-hujanan untuk mengamen! Apa hanya untuk sekedar makan? Atau mereka harus menyetor kepada orangtua mereka! Dan mereka akan dimarahi jika tidak menyetor! Walah,. Kalau seperti itu, namanya penindasan. Hmm.... lalu buat apa juga aku berpikir sejauh itu, eit... aku Cuma berpikir, andai saja kita di posisi mereka, apakah kita akan melakukan hal yang sama! Hmm... mungkin saja! Karena keadaanlah yang memaksa mereka melakukan hal itu.
Sesampainya di persimpangan cawang, mereka akhiri nyanyian mereka, lalu mengeluarkan plastik permen, yang agak besar, kemudian menyodorkannya ke arah penumpang, dengan harapan akan ada yang memberinya recehan sebagai imbalan jasa menyanyinya. Aku rogoh kantung celanaku, lalu kutemukan beberapa koin, entah berapa nilainya, langsung aku ambil dan kuberikan kepada 2 anak itu. Memang, tidak banyak yang memberinya recehan, tapi tidak tampak kesedihan, atau guratan kecewa dari wajah mereka, mereka tampak puas dengan apa yang mereka dapatkan. Akhirnya di saat lampu merah, mereka turun dari angkot, dan berpindah ke angkot yang lainnya.
Terus terang aku sangat salut kepada mereka, perjuangan mereka patut ditiru! [perjuangannya loh! Bukan ngamennya]. Mungkin mereka memperjuangkan kepentingan orang lain, tanpa mempedulikan kondisi mereka, bisa jadi karena kehujanan, esoknya mereka sakit. Dalam kondisi hujan lebat, mereka memaksakan diri mereka untuk bekerja, mengamen, menyanyi, demi recehan yang nilainya mungkin tidak seberapa. Tapi mereka menganggap bahwa mereka sudah berusaha, mereka menunjukkan bahwa mereka sanggup mencari uang sendiri tanpa harus meminta-minta di pinggir jalan, atau di persimpangan jalan.
Kadang kita mengeluh ketika hujan datang, dan menggugurkan niat kita untuk bekerja. Kadang kita mengeluh cape! Karena seharian bekerja. Kadang kita tidak ingat, bahwa anak perempuan yang masih kecil itu tidak pernah mengeluh cape, atau kedinginan. Ketika kita masuk dalam kondisi yang serba tidak bersemangat, ingatlah 2 anak perempuan itu!
Dari matraman ke arah kp. Melayu aku naik angkot M.01, cuaca masih kurang baik, kata temanku gerimis ngrindu, karena biasanya bila gerimis, ia selalu ingat dengan istrinya yang ada di rumah,. Hehehe… sesampainya di kp. Melayu, aku beralih angkot, dan untuk menuju kramatjati, aku naik angkot M.06. Cuaca semakin tidak bersahabat, tiba-tiba saja hujan menjadi lebat, untung saja aku duduk agak ke tengah, kalau tidak, bisa basah pakaianku. Saat itu angkot penuh sekali, 4 orang duduk rapat di depanku, dan 5 orang yang duduk bersamaku, lalu 2 orang yang duduk dekat pintu, dan 2 orang lagi duduk di depan bersama supir. Awalnya kasihan juga melihat 2 orang yang duduk persis di depan pintu, karena mereka kehujanan, tapi karena mereka pria dewasa, aku jadi agak cuek.
Di persimpangan otista, angkot berhenti karna terkena lampu merah. Lalu dari arah sisi jalan, ada 2 orang anak perempuan yang mendekat. Mereka berjalan tertatih-tatih sambil menyilangkan tangan mereka ke dada, tanda kedinginan. Selanjutnya mereka naik, dan berdiri di pintu. Angkot mulai bergerak bersamaan dengan berpindahnya lampu lalu lintas menjadi warna hijau. 2 anak itu menyanyi pelan, dengan nada agak menggigil. Ketika supir tahu bahwa ada 2 orang anak kecil menaiki angkotnya, ia menyuruh turun mereka, karena khawatir jatuh. Tapi anak-anak itu tidak menggubrisnya, dan terus melanjutkan nyanyiannya yang tidak jelas. Akhirnya supir agak mengurangi kecepatan, dan anak itu trus bernyanyi. Salah satu berkata, ”dingin banget ya kak!”, lalu yang satunya menjawab ”tahan aja, nanti juga terbiasa”, sepertinya mereka berdua bersaudara. Kalau aku perhatikan usia mereka sekitar 6-8 tahun, usia yang belum pantas untuk mencari uang. Di sela-sela nyanyian mereka, mereka tertawa bersama, entah apa yang lucu, mungkin hanya cara mereka menghilangkan rasa dingin, atau hanya sekedar untuk menghibur diri mereka.
Terkadang aku berpikir, bagaimana orangtuanya! Jam-jam segitu seharusnya 2 anak itu diam di rumah dan belajar. Tapi aku juga tidak tahu, apakah mereka sekolah! Hmm... dalam lamunan, aku berpikir semakin jauh, kalaupun tidak sekolah, mungkin karena memang orangtuanya tidak mampu membiayai mereka sekolah,. Uhh... aku jadi keki sendiri, ngapain sih mereka melahirkan anak, tapi justru untuk ditelantarkan!kan kasihan anak-anak itu! Mereka sih enak bikinnya! Ups... sepintas aku berpikir apa sih yang diperjuangkan anak-anak itu? Hingga rela berhujan-hujanan untuk mengamen! Apa hanya untuk sekedar makan? Atau mereka harus menyetor kepada orangtua mereka! Dan mereka akan dimarahi jika tidak menyetor! Walah,. Kalau seperti itu, namanya penindasan. Hmm.... lalu buat apa juga aku berpikir sejauh itu, eit... aku Cuma berpikir, andai saja kita di posisi mereka, apakah kita akan melakukan hal yang sama! Hmm... mungkin saja! Karena keadaanlah yang memaksa mereka melakukan hal itu.
Sesampainya di persimpangan cawang, mereka akhiri nyanyian mereka, lalu mengeluarkan plastik permen, yang agak besar, kemudian menyodorkannya ke arah penumpang, dengan harapan akan ada yang memberinya recehan sebagai imbalan jasa menyanyinya. Aku rogoh kantung celanaku, lalu kutemukan beberapa koin, entah berapa nilainya, langsung aku ambil dan kuberikan kepada 2 anak itu. Memang, tidak banyak yang memberinya recehan, tapi tidak tampak kesedihan, atau guratan kecewa dari wajah mereka, mereka tampak puas dengan apa yang mereka dapatkan. Akhirnya di saat lampu merah, mereka turun dari angkot, dan berpindah ke angkot yang lainnya.
Terus terang aku sangat salut kepada mereka, perjuangan mereka patut ditiru! [perjuangannya loh! Bukan ngamennya]. Mungkin mereka memperjuangkan kepentingan orang lain, tanpa mempedulikan kondisi mereka, bisa jadi karena kehujanan, esoknya mereka sakit. Dalam kondisi hujan lebat, mereka memaksakan diri mereka untuk bekerja, mengamen, menyanyi, demi recehan yang nilainya mungkin tidak seberapa. Tapi mereka menganggap bahwa mereka sudah berusaha, mereka menunjukkan bahwa mereka sanggup mencari uang sendiri tanpa harus meminta-minta di pinggir jalan, atau di persimpangan jalan.
Kadang kita mengeluh ketika hujan datang, dan menggugurkan niat kita untuk bekerja. Kadang kita mengeluh cape! Karena seharian bekerja. Kadang kita tidak ingat, bahwa anak perempuan yang masih kecil itu tidak pernah mengeluh cape, atau kedinginan. Ketika kita masuk dalam kondisi yang serba tidak bersemangat, ingatlah 2 anak perempuan itu!
Knp sich di Indonesia masih banyak anak2 yg jadi pengamen...