Sudah tiga tahun sejak pertama kali ia menginjakkan kakinya di kota besar ini, ia merasa usaha maksimal yang bisa dilakukan hanyalah dengan cara ini, tidak peduli berapa kali makian dan hinaan yang ia terima dari orang-orang yang melihatnya, atau dari orang-orang yang ia pintai. Hanya dengan cara ini ia bisa menghidupi anak dan istrinya di kampung, hanya dengan cara ini ia bisa bertahan hidup.
Suaranya yang lirih menjadi karakter khasnya dalam bekerja, mukanya yang pucat pasi, memelas peluh, menjadi modalnya dalam beraksi, penampilannya yang compang-camping, merupakan pakaian kebesarannya dalam mengais rezeki.
Terkadang ia harus melakukan aktivitasnya di terik panas matahari yang membuat tubuhnya bermandi keringat, kadang juga ia harus berbasah-basahan karena hujan, “ya itung-itung menghemat uang, biar ga usah mandi di toilet umum” pikirnya. Asap knalpot yang mengepul tebal, dan mengenai muka kotornya menjadi santapannya sehari-hari, debu-debu jalanan menjadi teman akrabnya, ia menjadi terbiasa dengan itu semua, ia menganggap semua itu adalah resiko yang harus di ambil.
Ia sama sekali tidak menyalahi orangtua yang melahirkannya, ia juga tidak menyalahi Tuhan yang telah menciptakannya, tapi entah, Tuhan mana yang ia yakini, ia hanya meniatkan dirinya untuk bekerja, berhidup, lalu bekerja lagi. Ia hanya meyakini bahwa hidup itu harus dijalani, bukan ditangisi, karena jika memutuskan untuk hidup, kita harus hidup, dan untuk hidup kita harus bergerak, tapi saat itu ia tidak tahu, apakah usaha yang selama ini dilakukan merupakan hal yang terbaik, tapi ia tidak memusingkan hal itu, “bisa makan aja udah bersyukur” katanya.
Hanya dua kali dalam sehari ia mengisi perutnya dengan nasi, ia selalu memaksimalkan porsi nasinya supaya mendapatkan tenaga yang ekstra, saat malam tiba, ketika ia sudah kelelahan, ia mencari tempat untuk sekedar melonjorkan kakinya. emperan toko, kolong jembatan, atau kadang di pinggiran masjid, menjadi tempat istirahatnya. Udara dingin yang menusuk badan sudah bukan masalah lagi buatnya, itu hanyalah seperti hembusan kecil yang mengenai tubuhnya.
Biasanya setahun sekali ia pulang ke kampung, untuk melepaskan kerinduannya kepada keluarga tercinta, entah, apakah keluarganya tahu profesinya seperti itu! Tapi selang seminggu kemudian ia kembali ke kota ini, melanjutkan pekerjaannya mengais rezeki di persimpangan lampu merah.
Pernah suatu ketika ia merasakan dirinya menggigil hebat, perutnya terasa kembung sekali, dan kepalanya terasa berat dan pusing, sepertinya itu adalah puncak dari ketahanan tubuhnya, ia sakit. “mungkin hanya masuk angin biasa” pikirnya. Tidak ada satupun kata-kata mengeluh yang ia keluarkan dari mulutnya yang bau, ia hanya menikmati sakit yang ia derita, ketika sakit itu sedikit mereda, ia paksakan dirinya untuk membeli roti murah, obat warung dan segelas aqua kecil. Lalu ia kembali ke tempat istirahatnya, memakan roti, meminum obat yang ia beli, selanjutnya melanjutkan istirahatnya dengan harapan, esok hari, kondisinya akan pulih.
Suaranya yang lirih menjadi karakter khasnya dalam bekerja, mukanya yang pucat pasi, memelas peluh, menjadi modalnya dalam beraksi, penampilannya yang compang-camping, merupakan pakaian kebesarannya dalam mengais rezeki.
Terkadang ia harus melakukan aktivitasnya di terik panas matahari yang membuat tubuhnya bermandi keringat, kadang juga ia harus berbasah-basahan karena hujan, “ya itung-itung menghemat uang, biar ga usah mandi di toilet umum” pikirnya. Asap knalpot yang mengepul tebal, dan mengenai muka kotornya menjadi santapannya sehari-hari, debu-debu jalanan menjadi teman akrabnya, ia menjadi terbiasa dengan itu semua, ia menganggap semua itu adalah resiko yang harus di ambil.
Ia sama sekali tidak menyalahi orangtua yang melahirkannya, ia juga tidak menyalahi Tuhan yang telah menciptakannya, tapi entah, Tuhan mana yang ia yakini, ia hanya meniatkan dirinya untuk bekerja, berhidup, lalu bekerja lagi. Ia hanya meyakini bahwa hidup itu harus dijalani, bukan ditangisi, karena jika memutuskan untuk hidup, kita harus hidup, dan untuk hidup kita harus bergerak, tapi saat itu ia tidak tahu, apakah usaha yang selama ini dilakukan merupakan hal yang terbaik, tapi ia tidak memusingkan hal itu, “bisa makan aja udah bersyukur” katanya.
Hanya dua kali dalam sehari ia mengisi perutnya dengan nasi, ia selalu memaksimalkan porsi nasinya supaya mendapatkan tenaga yang ekstra, saat malam tiba, ketika ia sudah kelelahan, ia mencari tempat untuk sekedar melonjorkan kakinya. emperan toko, kolong jembatan, atau kadang di pinggiran masjid, menjadi tempat istirahatnya. Udara dingin yang menusuk badan sudah bukan masalah lagi buatnya, itu hanyalah seperti hembusan kecil yang mengenai tubuhnya.
Biasanya setahun sekali ia pulang ke kampung, untuk melepaskan kerinduannya kepada keluarga tercinta, entah, apakah keluarganya tahu profesinya seperti itu! Tapi selang seminggu kemudian ia kembali ke kota ini, melanjutkan pekerjaannya mengais rezeki di persimpangan lampu merah.
Pernah suatu ketika ia merasakan dirinya menggigil hebat, perutnya terasa kembung sekali, dan kepalanya terasa berat dan pusing, sepertinya itu adalah puncak dari ketahanan tubuhnya, ia sakit. “mungkin hanya masuk angin biasa” pikirnya. Tidak ada satupun kata-kata mengeluh yang ia keluarkan dari mulutnya yang bau, ia hanya menikmati sakit yang ia derita, ketika sakit itu sedikit mereda, ia paksakan dirinya untuk membeli roti murah, obat warung dan segelas aqua kecil. Lalu ia kembali ke tempat istirahatnya, memakan roti, meminum obat yang ia beli, selanjutnya melanjutkan istirahatnya dengan harapan, esok hari, kondisinya akan pulih.
0 Comment
Post a Comment