Melanjuti artikel sebelumnya, ada hal menarik yang membuat diriku mengerutkan dahi, sekaligus melebarkan senyumku. Semua itu karena ulah seorang bocah, anak salah seorang peserta kajian di masjid itu.
Pagi itu, suasana di masjid begitu khusyu’. Yang terdengar hanyalah taujih rabbani seorang ustadz yang duduk tepat di depan mimbar masjid. Tampak puluhan peserta serius menyimak apa yang disampaikan sang ustadz. Hijab putih yang berkerangka alumunium, dengan alas roda kecil menjadi pembatas antara jama’ah wanita dan laki-laki. Beberapa kipas angin yang dihidupkan, menambah kesejukan udara di masjid yang asri itu. Sesekali beberapa jama’ah mengganti posisi duduk untuk menghilangkan pegal yang mulai menyemuti kaki mereka, sudah hampir satu jam mereka duduk di tempat itu.
Di tengah-tengah kekhusyu’kan tersebut, nampak seorang bocah kecil yang berusia sekitar empat tahun-an berjalan ke arah sound system yang terletak tidak jauh dari tempat ustadz. Ya,… sekitar tiga meter ke kiri dari ustadz itu duduk.
Bocah itu melihat hampir setiap sisi sound sytem yang berbentuk kotak itu, mungkin karena bisa mengeluarkan suara, sehingga membuat bocah itu penasaran. Ia tertegun heran dengan kotak putih itu, dua kali ia dekatkan telinganya ke kotak, hanya untuk memastikan bahwa suara itu, memang berasal dari sana.
Kemudian ia tertarik dengan tombol yang berada di atas kotak itu. Ia perhatikan bentuknya yang menurutnya sangat eksotik, karena tekstur dua tombol itu bagian sisinya terlihat menjorok ke dalam dengan garis-garis lurus, nan halus. Ia mencoba menyentuh salah satu tombol itu, kemudian memutar-mutarkan sedikit, kekanan, dan semakin ke kanan, sehingga suara yang keluar dari speaker itu semakin keras, dan itu membuatnya kaget. Terlihat dari posisi tubuhnya yang sedikit mundur ke belakang.
Tentu saja hal itu mengundang perhatian peserta kajian, termasuk sang ustadz. Moderator yang duduk di samping ustadz, segera berinisiatif untuk menormalkan kembali tombol yang diputar bocah itu, yang ternyata adalah tombol volume. ”jangan nakal ya, de!” ucap moderator kepada bocah itu, sambil kembali duduk ke tempatnya semula.
Dengan teguran halus itu, sang bocah sama sekali tidak bergeming, kemudian ia memperhatikan ustadz yang sedang bicara. Ia heran, kenapa suara ustadz itu bisa keluar dari kotak putih itu. Dalam perhatiannya, ia melihat kabel dari mic yang dipegang ustadz menuju seound system. Bocah itu kembali mendekati sound system, kali ini, perhatiannya tertuju kepada ujung kabel yang berupa konektor mic. Ia putar-putar konektor itu, lalu menariknya. Lantas, suara ustadz menghilang seiring tercabutnya konektor itu. Pertanyaannya sudah terjawab, kemudian ia masukkan kembali ujung konektor itu, ke tempatnya semula sambil tersenyum sinis.
Entah, siapa orangtua bocah nakal itu. Sepertinya mereka kurang baik mendidik anaknya itu, atau karena terlalu baik? Yang pasti, otak bocah itu dipenuh oleh banyak pertanyaan mengenai segala sesuatu yang berada disekitarnya.
Tidak cukup mencabut konektor mic. Kini ia berjalan di depan jama’ah, dan berhenti tepat di depan ustadz yang sedang berbicara. Ia tertarik dengan buku hitam yang berada dipangkuan ustadz, ia mencoba meraih buku itu, tapi tertahan oleh tangan si pemilik. Maka terjadi aksi tarik menarik, yang membuat sebagian jama’ah tertawa kecil. Akhirnya sang ustadz mengalah, dan membiarkan bocah itu mengambil bukunya. Ia bolak-balikan buku itu, lalu ia buka setiap lembarnya. Karena merasa kurang menarik, ia lemparkan buku itu ke atas pangkuan sang ustadz,.. kurang ajar memang bocah itu, andai saja bukan anak kecil, mungkin sang ustadz sudah naik pitam.
Kini matanya mengarah ke arah microphone yang tergeletak di depan moderator. Kreatifitasnya mulai bangkit, ia ambil mic itu, lalu mencoba berbicara di ujungnya. Tapi ia kecewa, karena suaranya tidak terdengar di sound system. Ia benturkan dua kali kepala mic ke lantai, kemudian mencoba berbicara lagi di ujung mic. Tapi hasilnya tetap sama, ia tidak menyadari bahwa mic itu dalam keadaan mati, dan ia tidak mengetahui cara mengaktifkannya.
Dalam kekecewaannya, matanya melirik ke arah benda yang sedang dipegang ustadz. Kali ini ia ingin membuktikan kalau suaranya juga bisa keluar di sound system itu. Ia dekati ustadz, dan berusaha meraih microphone yang sedang dipegang oleh ustadz. Ia ambil secara paksa, kemudian berteriak kecil di ujung mic itu, ”oiii...... oi.......hahaha....sualana kedengelan.” Sungguh itu membuat jengkel ustadz, moderator dan beberapa jama’ah. Tapi terdengar ada tawa kecil saat itu. Memang, kenakalan bocah itu, menjadi suatu kelucuan yang tidak berarti.
Setelah puas mengungkapkan misterinya, si bocah melemparkan mic itu ke lantai, dan berlari ke belakang jama’ah. Ia sedikit khawatir, karena saat itu sang moderator memelototinya.
Orang-orang berpikir, mungkin itu akhir dari kenakalan bocah itu. Tapi dugaan mereka salah. Kali ini ia berkutik dengan hijab putih yang menjadi pembatas antara jama’ah laki-laki dan wanita. Tidak disangka-sangka, salah satu hijab sepanjang tiga meteran yang beralaskan roda itu, ia tarik-tarik, sehingga jama’ah laki-laki bisa melihat langsung jama’ah wanita, dan sebaliknya. Aksinya itu membuat satu orang peserta berbadan besar yang saat itu duduk di belakang, berinisiatif untuk mengembalikan posisi hijab tersebut. Bocah nakal itu lari ketakutan, lantaran orang itu menjewer telinganya. Ia berlari tunggang-langgang sambil menangis keras.
Kejadian itu telah mengalihkan perhatian peserta kajian ke arah belakang. Di antara mereka ada yang tertawa geli, ada yang memasang muka puas, karena anak itu menangis. Ada juga yang hanya tersenyum kecil.
Pagi itu, suasana di masjid begitu khusyu’. Yang terdengar hanyalah taujih rabbani seorang ustadz yang duduk tepat di depan mimbar masjid. Tampak puluhan peserta serius menyimak apa yang disampaikan sang ustadz. Hijab putih yang berkerangka alumunium, dengan alas roda kecil menjadi pembatas antara jama’ah wanita dan laki-laki. Beberapa kipas angin yang dihidupkan, menambah kesejukan udara di masjid yang asri itu. Sesekali beberapa jama’ah mengganti posisi duduk untuk menghilangkan pegal yang mulai menyemuti kaki mereka, sudah hampir satu jam mereka duduk di tempat itu.
Di tengah-tengah kekhusyu’kan tersebut, nampak seorang bocah kecil yang berusia sekitar empat tahun-an berjalan ke arah sound system yang terletak tidak jauh dari tempat ustadz. Ya,… sekitar tiga meter ke kiri dari ustadz itu duduk.
Bocah itu melihat hampir setiap sisi sound sytem yang berbentuk kotak itu, mungkin karena bisa mengeluarkan suara, sehingga membuat bocah itu penasaran. Ia tertegun heran dengan kotak putih itu, dua kali ia dekatkan telinganya ke kotak, hanya untuk memastikan bahwa suara itu, memang berasal dari sana.
Kemudian ia tertarik dengan tombol yang berada di atas kotak itu. Ia perhatikan bentuknya yang menurutnya sangat eksotik, karena tekstur dua tombol itu bagian sisinya terlihat menjorok ke dalam dengan garis-garis lurus, nan halus. Ia mencoba menyentuh salah satu tombol itu, kemudian memutar-mutarkan sedikit, kekanan, dan semakin ke kanan, sehingga suara yang keluar dari speaker itu semakin keras, dan itu membuatnya kaget. Terlihat dari posisi tubuhnya yang sedikit mundur ke belakang.
Tentu saja hal itu mengundang perhatian peserta kajian, termasuk sang ustadz. Moderator yang duduk di samping ustadz, segera berinisiatif untuk menormalkan kembali tombol yang diputar bocah itu, yang ternyata adalah tombol volume. ”jangan nakal ya, de!” ucap moderator kepada bocah itu, sambil kembali duduk ke tempatnya semula.
Dengan teguran halus itu, sang bocah sama sekali tidak bergeming, kemudian ia memperhatikan ustadz yang sedang bicara. Ia heran, kenapa suara ustadz itu bisa keluar dari kotak putih itu. Dalam perhatiannya, ia melihat kabel dari mic yang dipegang ustadz menuju seound system. Bocah itu kembali mendekati sound system, kali ini, perhatiannya tertuju kepada ujung kabel yang berupa konektor mic. Ia putar-putar konektor itu, lalu menariknya. Lantas, suara ustadz menghilang seiring tercabutnya konektor itu. Pertanyaannya sudah terjawab, kemudian ia masukkan kembali ujung konektor itu, ke tempatnya semula sambil tersenyum sinis.
Entah, siapa orangtua bocah nakal itu. Sepertinya mereka kurang baik mendidik anaknya itu, atau karena terlalu baik? Yang pasti, otak bocah itu dipenuh oleh banyak pertanyaan mengenai segala sesuatu yang berada disekitarnya.
Tidak cukup mencabut konektor mic. Kini ia berjalan di depan jama’ah, dan berhenti tepat di depan ustadz yang sedang berbicara. Ia tertarik dengan buku hitam yang berada dipangkuan ustadz, ia mencoba meraih buku itu, tapi tertahan oleh tangan si pemilik. Maka terjadi aksi tarik menarik, yang membuat sebagian jama’ah tertawa kecil. Akhirnya sang ustadz mengalah, dan membiarkan bocah itu mengambil bukunya. Ia bolak-balikan buku itu, lalu ia buka setiap lembarnya. Karena merasa kurang menarik, ia lemparkan buku itu ke atas pangkuan sang ustadz,.. kurang ajar memang bocah itu, andai saja bukan anak kecil, mungkin sang ustadz sudah naik pitam.
Kini matanya mengarah ke arah microphone yang tergeletak di depan moderator. Kreatifitasnya mulai bangkit, ia ambil mic itu, lalu mencoba berbicara di ujungnya. Tapi ia kecewa, karena suaranya tidak terdengar di sound system. Ia benturkan dua kali kepala mic ke lantai, kemudian mencoba berbicara lagi di ujung mic. Tapi hasilnya tetap sama, ia tidak menyadari bahwa mic itu dalam keadaan mati, dan ia tidak mengetahui cara mengaktifkannya.
Dalam kekecewaannya, matanya melirik ke arah benda yang sedang dipegang ustadz. Kali ini ia ingin membuktikan kalau suaranya juga bisa keluar di sound system itu. Ia dekati ustadz, dan berusaha meraih microphone yang sedang dipegang oleh ustadz. Ia ambil secara paksa, kemudian berteriak kecil di ujung mic itu, ”oiii...... oi.......hahaha....sualana kedengelan.” Sungguh itu membuat jengkel ustadz, moderator dan beberapa jama’ah. Tapi terdengar ada tawa kecil saat itu. Memang, kenakalan bocah itu, menjadi suatu kelucuan yang tidak berarti.
Setelah puas mengungkapkan misterinya, si bocah melemparkan mic itu ke lantai, dan berlari ke belakang jama’ah. Ia sedikit khawatir, karena saat itu sang moderator memelototinya.
Orang-orang berpikir, mungkin itu akhir dari kenakalan bocah itu. Tapi dugaan mereka salah. Kali ini ia berkutik dengan hijab putih yang menjadi pembatas antara jama’ah laki-laki dan wanita. Tidak disangka-sangka, salah satu hijab sepanjang tiga meteran yang beralaskan roda itu, ia tarik-tarik, sehingga jama’ah laki-laki bisa melihat langsung jama’ah wanita, dan sebaliknya. Aksinya itu membuat satu orang peserta berbadan besar yang saat itu duduk di belakang, berinisiatif untuk mengembalikan posisi hijab tersebut. Bocah nakal itu lari ketakutan, lantaran orang itu menjewer telinganya. Ia berlari tunggang-langgang sambil menangis keras.
Kejadian itu telah mengalihkan perhatian peserta kajian ke arah belakang. Di antara mereka ada yang tertawa geli, ada yang memasang muka puas, karena anak itu menangis. Ada juga yang hanya tersenyum kecil.
0 Comment
Post a Comment