Dia dan Persimpangan itu

Written by Sachdar Gunawan | Thursday, March 22, 2007 | , | 0 Comment »

Kepulan asap hitam dari knalpot kendaraan yang lewat, menambah pekatnya udara panas di siang hari. Lalu-lalang kendaraan yang menimbulkan suara parau, turut meramaikan hiruk-pikuk suasana di lampu merah itu. Saat si merah menampakkan warnanya, para pengemudi menghentikan kendaraanya seperti terhipnotis oleh warna itu.

Saat itulah, kang asep beserta beberapa orang kawannya mulai beraksi. Dengan kaki pincangnya, ia susuri setiap kendaraan yang sedang berhenti, tidak peduli seterik apapun panas matahari yang menyengat tubuh hitamnya itu, tidak peduli setebal apa asap knalpot yang masuk ke rongga hidungnya. Ia melanjutkan aktivitasnya itu hingga si merah menyembunyikan warnanya.

“rokok, mas!” ucapnya menawarkan barang dagangan yang ia letakkan dikotak yang ukurannya hanya selebar badannya. Ia selempangkan tali pengait kotak itu di badannya yang agak kurus untuk menahan beban.

Terlihat tangan kirinya menenteng satu ember plastik yang berisi beberapa botol aqua, lengkap dengan satu balok es batu yang mulai mencair. Di sela-sela jari tangan kanannya terselip dua botol aqua ukuran 600ml.

”aqua.......!” terdengar suara orang dari arah belakangnya. Kang asep yang mendengar itu, segera menuju sumber suara, kemudian mengambil satu botol aqua.

Memang perjuangannya sungguh berat, dengan pekerjaannya itu, tidak banyak yang bisa ia hasilkan. Satu hari bisa mendapatkan lima belas ribu rupiah saja, merupakan suatu keberuntungan buat dirinya. Mungkin sebenarnya ia bisa mendapatkan lebih dari itu, tapi ia sadar, ia tidak sendiri di lampu merah itu, banyak kawan-kawannya yang memiliki pekerjaan yang sama dengannya.

Sewaktu ia menjajakan barang dagangannya, ia melihat satu keluarga di dalam mobil panther silver, sedang asyik bercengkerama. Pikirannya menerawang jauh, menyusuri sisi kehidupannya yang sudah lampau. Ia teringat dengan pengalaman pahitnya.

Lima tahun lalu, ia bersama keluarganya bertamasya ke puncak. Di suatu belokkan, ia dikejutkan dengan kehadiran mobil corolla hitam yang datang dari arah berlawanan. Pengendara mobil itu kurang cermat melakukan belokkan, sehingga membuat kang asep yang saat itu sedang mengendarai mobil, membanting stir ke arah lain untuk menghindari tabrakan. Tapi, sungguh naas, arah yang ia tuju ke arah jurang.

Dalam kecelakaan itu, hanya ia saja yang masih hidup, dan setelah kejadian itu, kehidupannya menjadi hancur. Ia kehilangan anak dan istrinya, ia kehilangan pekerjaannya, karena harus dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan. Ia juga kehilangan harta yang dimiliki, karena habis untuk mengobati dirinya. Dadanya retak dan kaki kirinya hampir patah, sehingga harus dioperasi yang membutuhkan biaya yang cukup besar.

Lamunannya terhenti karena suara klakson mobil di depannya. Rupanya si merah sudah menyembunyikan warnanya. Kemudian ia menyeka air mata yang menetes dari matanya, sambil menepi menuju pesisir jalan.

”kang, kang asep nangis?” tanya seorang kawan dipinggir jalan yang berprofesi sama dengannya.

”oh,... enggak...mata saya kemasukkan debu, jadinya kaya abis nangis ya!hehe..” sahut kang asep menghibur diri.

Di dunia ini ia hanya sendiri, setelah kecelakaan itu. Kerabat dan keluarganya tidak ada yang mau menerima dirinya. Kini ia adalah seorang cacat yang tidak memiliki apapun.

Pernah ia berusaha untuk mengakhiri hidupnya dengan menegak satu kaleng obat nyamuk cair. Untung saja kawannya yang saat itu sedang berkunjung ke kontrakannya, melihat kondisinya yang saat itu sedang tidak sadarkan diri. Lantas kang asep dilarikan ke rumah sakit terdekat. Akhirnya, hidup kang asep bisa diselamatkan.

”hmm,. kenapa aku tidak mati? Ah, mungkin Tuhan belum mengizinkan aku untuk mati.”

Setelah kejadian itu, kang asep tidak pernah mengulangi kebodohannya lagi. Ia sadar, bahwa bukan dirinya yang menentukan akhir hidupnya, semuanya sudah ditentukan oleh penciptanya, begitupun dengan anak dan istrinya yang sudah mendahuluinya.

Kang asep yang sekarang, bukan kang asep yang lemah. Walaupun ia cacat, ia berusaha untuk tidak merepotkan orang lain. Ia juga bekerja dengan penuh semangat. Dikala kawan-kawannya yang lain masih tertidur pulas, kang asep sudah berada di persimpangan untuk bekerja. Dikala yang lain sudah kembali ke rumahnya, kang asep masih berada di persimpangan.

Suatu pagi, persimpangan itu dipenuhi banyak orang. Beberapa petugas polisi terlihat sedang mengamankan areal sekitar, dan petugas lainnya sibuk mengatur lalu lintas yang mulai padat. Tidak berapa lama kemudian, datang satu unit mobil ambulan.

”ada kejadian apa ya? kok ada mobil ambulan,” tanya arif, salah satu kawan kang asep yang pernah menyelamatkannya dari kematian. Saat itu arif sedang berjalan menuju persimpangan untuk bekerja. Alangkah terkejutnya ia, ketika melihat jenazah yang sedang dibawa empat petugas kesehatan itu.

”tidak salah lagi, itu kang asep!.” tegasnya.

”kang asep.... ” teriaknya keras, dan itu mengundang kawan-kawan lainnya, yang baru tiba di persimpangan..

Mereka sungguh tidak menyangka kalau jenazah itu adalah kang asep. Tangis sudah tidak bisa terbendung lagi, air mata mengalir deras, dan kesedihan menyelimuti komunitas pedagang asongan yang saat itu mengetahui kematian kang asep.

Menurut saksi mata, sekitar pukul lima pagi tadi, ia melihat satu mobil dari arah barat sedang melaju kencang menuju persimpangan. Saat melewati persimpangan, terdengar suara teriakan manusia, diikuti dengan suara benda yang terjatuh keras. Karena penasaran, ia segera lari menuju persimpangan, dan di tempat itu ia melihat sosok lelaki terbaring dengan tubuh mengejang. Nampak darah segar keluar dari mulut dan hidungnya, spontan ia berteriak meminta tolong dengan harapan akan ada orang lain yang datang dan menolong. Hingga akhirnya datang beberapa petugas polisi, disusul satu unit mobil ambulan.

0 Comment