Kado Terakhir untuk Dinda

Written by Sachdar Gunawan | Tuesday, April 03, 2007 | | 0 Comment »

Sore itu, langit mulai menampakkan gradasinya, terlihat beberapa goresan awan putih, bercampur dengan warna kuning yang kemerah-merahan, mungkin itu pantulan dari matahari senja dan kedatangan bulan. Sungguh indah pemandangan itu, seperti halnya lukisan abstrak yang tergores di kanvas yang mengangkasa.

Tampak beberapa burung gereja menghinggapi celah-celah dinding rumah sakit. Sepertinya di situ ada kehidupan, karena beberapa sarang yang tersusun dari anyaman ranting pohon ada di sana. Di dalam rumah sakit itu, terdapat kehidupan juga, hanya saja kehidupan yang kurang sempurna. Tempat itu, dipenuhi dengan banyak harapan, dan keputusasaan. Bahkan ada sebagian manusia yang hanya tinggal menunggu detik-detik terakhir kehidupannya di dunia. Aroma kimia, sangat mendominasi sirkulasi udara di tempat itu, dan bisa membuat muntah bagi mereka yang alergi terhadap obat.

Di suatu kamar, aku dan putriku, sedang asyik bercengkerama. Tangan kiriku memegang mangkok kecil nasi dengan beberapa lauk, dan tangan yang lain memegang sendok yang siap menyiduk isi dari mangkok itu. Hembusan angin dari kipas yang terpasang di atap kamar itu, menambah kesejukan suasana sore. Sesekali terdengar rintihan pilu dari ruang sebelah, yang membuat miris, hati para penghuni rumah sakit itu.

“yah… yah….. belikan ade boneka ya! Kan minggu depan ade ulang tahun.” Ucap putriku pelan. Saat itu dinda sedang terbaring di rumah sakit karena terkena Demam Berdarah.
”boneka apa de?,” tanyaku.
”boneka itu loo.... pooh,” ucapnya, sambil menahan sakit dikepalanya.
”insya allah, minggu depan ayah belikan.... tapi ade harus janji dulu sama ayah. Ade harus janji, kalau ade harus sembuh!... gimana?”
”hmm.... iya, ade janji deh...”
”nah gitu dunk! Itu baru namanya putri ayah,... kalau mau cepat sembuh ade harus makan, trus minum obat,”ucapku.
”oh gitu ya, yah!”
”iyaa, makanya, sekarang ade makan ya! ayoo....” bujukku, sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.

Akhirnya dinda membuka mulutnya dan mengunyah nasi yang baru saja aku suapkan. ”siip...... putri ayah memang pintar,.....”

Aku senang sekali melihat putriku mau makan, karena sejak lima hari dirawat di rumah sakit, ia sulit sekali untuk makan.

Saat itu aku memang tersenyum, tapi hatiku menangis. Aku kasihan sekali dengan dinda, setelah tiga bulan yang lalu divonis types oleh dokter, sekarang ia harus dirawat kembali karena Demam Berdarah.

Memang, sejak istriku meninggal, ia hanya mendapatkan kasih sayang dan perhatian dariku. Sedangkan waktuku untuk dinda sangat sedikit, aku terlalu disibukkan dengan pekerjaanku.

Aku meminta adik perempuanku yang masih kuliah, untuk tinggal bersamaku, sehingga ada yang menemani dinda ketika aku di kantor.

Ketika peluh menghampiriku, aku rebahkan tubuhku di sofa rumah. Pikiranku mengembara ke setiap sisi kehidupanku. Terbayang wajah istriku yang sudah meninggalkanku setahun lalu, aku rindu sekali dengannya. Ia adalah sosok seorang istri yang baik, figur ibu yang bijaksana, sekaligus sahabat terbaikku.

Dalam pengembaraan itu, terlintas wajah dinda yang sedih. Andai sakit yang dideritanya bisa dipindahkan kediriku, aku akan ikhlas menggantikannya. ”kasihan sekali kamu, nak,” batinku. Tidak terasa aku meneteskan air mata.

Tiba-tiba, ponselku berdering.

”gung, sebelumnya saya minta maaf nih. Terpaksa, besok saya harus menugaskan kamu ke Kalimantan untuk melakukan Site Acceptance Test, proyeknya Indosat,”
”hmm, memang tidak ada yang lain pak? Terus terang saya agak keberatan, bapak tau sendiri, anak saya masih di rumah sakit,” sambil mengusap air mata, aku menolak permintaan atasanku.
”tidak ada orang lain lagi yang bisa, hanya kamu orang terbaik di perusahaan yang bisa melakukan pekerjaan ini. Ayolah, kali ini saya memohon kekamu, hanya empat hari aja kok!”

Aku terdiam sejenak, untuk memikirkan keputusan apa yang harus kuambil. Akhirnya dengan terpaksa aku menerima permintaan atasanku.

”baiklah, pak! Saya akan ambil resiko ini.”
”bagus, tk’s ya! Saya sudah menyiapkan tiket dan dokumen yang diperlukan, nanti saya akan suruh orang untuk mengirimnya ke rumahmu.”
”ok pak! Tk’s juga ya.... ”ucapku, sambil mengakhiri pembicaraan.

Malam itu juga aku menuju rumah sakit untuk menemui putriku.

”de, kamu udah lebih sehat kah?,” tanyaku kepada dinda
”masih agak pusing, yah!.” aku coba pegang dahinya dengan punggung tanganku, suhu badannya belum. Sepertinya, demamnya masih tinggi.
”de, ayah belum sempat belikan kamu boneka! Nanti aja ya, empat hari lagi...”
”gpp yah, tapi kenapa harus empat hari lagi, yah?.”
”anu...hhh.... ayah ada pekerjaan di luar kantor, tapi kamu jangan khawatir, cuma empat hari aja kok! Ayah janji, pulangnya pasti akan belikan kamu boneka.”

Terus terang aku agak berat untuk berpamitan dengannya, tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku tau, dinda sangat sedih mendengarnya, terlihat dari raut wajahnya yang masih lugu itu.

Tapi aku juga tidak boleh terlihat sedih di depannya, saat aku tidak bisa membendung perasaanku, aku keluar dari kamar dinda dirawat. Sambil meneteskan air mata, aku membatin, ”kenapa aku harus mengambil keputusan sulit ini, berat sekali aku meninggalkan putriku.”

Tetapi aku tidak boleh terlarut dengan kesedihan, mungkin ini adalah jalan terbaik yang harus aku tempuh. Aku menyeka air mataku, kemudian kembali menemui dinda, mengecup dahinya, dan meninggalkan dirinya yang masih terbaring lemas di ruangan itu.

Ketika aku di luar kota, hampir setiap 6 jam sekali aku menghubungi adik perempuanku, dengan maksud untuk mengetahui kondisi dinda, putriku.

Saat hari terakhir bertugas, aku sempatkan diriku untuk membeli oleh-oleh untuk adik dan putriku. Tidak lupa boneka pooh, sepesial untuk kado ulang tahun dinda.

Sore itu juga, dengan pesawat aku meninggalkan Kalimantan menuju Jakarta.

Sekitar pukul 6 sore aku tiba di Jakarta.

Tapi saat ingin turun dari pesawat, aku terjatuh. Untungnya, saat itu hanya tinggal beberapa anak tangga lagi, sehingga jatuhku tidak terlalu sakit. Entah kenapa, saat itu aku ceroboh sekali. Padahal aku sudah berusaha untuk hati-hati.

Dari Bandara aku melanjutkan perjalananku menuju rumah dengan taxi, rencananya setelah menaruh perlengkapan, aku akan ke rumah sakit, untuk menemui dinda.

Empat hari tidak bertemu putriku, rasanya rindu sekali. Setelah tugas ini, aku akan mengambil cuti panjang, sehingga bisa menemani dinda di rumah sakit.

Sekitar pukul tujuh malam, aku tiba di depan komplek perumahan rumahku. Tapi taxi yang aku tumpangi tidak bisa masuk ke perumahan, karena portal depannya ditutup.

”Ada apa ya, tumben-tumbenan portalnya di tutup,” pikirku.

Kemudian aku turun di depan perumahan, dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Beberapa meter dari rumahku, aku melihat banyak orang berkerumun di depan rumahku. Hal itu membuat hatiku gelisah. Kupercepat langkahku untuk cepat sampai di rumah.

Sesampainya di depan rumah, salah satu tetanggaku, dengan wajah sedih, segera menghampiriku. Kemudian berkata, ”pak, yang sabar ya!.” Hatiku semakin tak menentu, pikiranku bertanya-tanya, ”sebenarnya ada apa.”

Dari depan rumah, aku melihat banyak orang sedang mengaji di dalam rumah. Kemudian aku langkahkan kakiku untuk segera masuk. Alangkah terkejutnya, setelah melihat putriku sedang berbaring kaku diantara orang-orang itu.

”tidak mungkin!.” Tidak terasa koper dan beberapa kantong plastik yang aku tenteng terlepas dari peganganku.

Mata dinda, sudah tidak terlihat karena tertutup kapas, dan badannya juga sudah terbungkus kain putih. Aku mendekati jasad yang sudah tidak bernyawa itu, jasad yang dulu sangat dekat sekali denganku, jasad yang menyemangatiku untuk tetap bertahan hidup, jasad putriku yang sangat aku sayangi.

Aku hanya bisa menatap wajah pucat putriku. Beberapa tetes air mata mengalir di sela-sela pipiku. Andai saja aku tidak mengingat Penciptaku, saat ini aku sudah menangis sejadi-jadinya.

Dengan lirih aku berkata,

”kenapa kamu meninggalkan ayah, de?,”
”kenapa gak pamitan dulu sama ayah?,”
”ayah, sudah membawakan boneka pooh nih!,”
”ini kado ulang tahun untuk kamu..........”

Bibirnya yang tersenyum membuatku menjadi sangat sedih sekali, entah berapa tetes, air keluar dari mataku ini. Saat itu aku menyesal sekali, andai saja aku tidak menyanggupi untuk tugas di luar kota, mungkin tidak akan terjadi hal seperti ini.

Tapi, aku tidak boleh menyesali diri, mungkin ini sudah menjadi takdir-Nya. Tidak ada satupun makhluk yang bisa menentang-Nya. Aku harus mengikhlaskan kepergian putriku, aku yakin saat ini ia sedang bersua dengan ibunya di Surga.

Jam enam lebih sepuluh menit tadi, dinda menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit, bertepatan dengan tibanya pesawatku di Jakarta. Sungguh, hal itu sangat membuatku terpukul, aku telah menyia-nyiakan satu-satunya anugerah Tuhan yang kumiliki saat ini. Semoga kejadian ini, dapat membuat mataku terbuka lebar, betapa berharganya waktu yang kumiliki.

0 Comment